Jeruk “Makan” Jeruk di Musi Banyuasin: Saat Polisi Setoran ke Polisi

Penulis Artikel : Ari Junaedi , Akademisi dan konsultan komunikasi

Kasus Ferdy Sambo dengan segala dramanya yang hiruk pikuk belum terungkap dengan terang benderang, kini publik kembali dikejutkan dengan “kisah jeruk makan jeruk” dari Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Saya meminjam istilah yang begitu populer di korps baju coklat itu untuk menjelaskan kelakuan polisi yang “usil” terhadap polisi yang lain.

Pengakuan Mantan Kepala Polres Ogan Komering Uli (OKU) Timur, Sumatera Selatan, AKBP Dalizon yang menjadi terdakwa kasus suap Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang begitu mengungkap terang benderang “kebejatan” kelakuan, sekali lagi oknum polisi.

(Kompas.com, 9 September 2022). Dalizon mengakui di bawah sumpah jika saban tanggal 5 setiap bulannya harus “setor” antara Rp 300 juta dan Rp 500 juta ke atasannya di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel.

Saat Dalizon menjabat Kasubdit Tipikor Polda Sumsel, dirinya memaksa Mantan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Herman Mayori untuk “setor” juga kepada dirinya. Dalizon mematok tarif 5 persen sebagai fee agar proses penyidikan proyek Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin dihentikan.

Tidak hanya itu, Dalizon juga pasang tarif Rp 5 miliar sebagai jasa pengamanan seluruh proyek di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin. Seperti masih kurang saja, Dalizon juga meminta 1 persen dari seluruh proyek di Dinas PUPR untuk tahun anggaran 2019. Total uang yang “dipersembahkan” para pemegang proyek kepada Dalizon mencapai Rp 10 miliar.

Seperti ingin menerapkan aturan upeti pajak yang diterapkan Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) di zaman penjajahan Belanda silam, para polisi tersebut saling palak-memalak.

Polisi yang satu memalak anak buahnya, sedangkan anak buahnya gantian memeras pegawai sipil. Bisa diduga, kepala dinas akan “giliran” memerintahkan kepada pejabat pembuat komitmen untuk “memalak” kontraktor agar ada cash back atau fee dari setiap proyek yang digarap.

Dan yang terakhir, sang kontraktor akan “memalak” pemasok material bangunan dan di muara akhir justru rakyat yang harus “dipalak” kenyamanannya dalam menikmati mutu pembangunan infrastruktur.

Tarif palak terus meningkat saat Dalizon memegang wilayah, tepatnya saat menjabat Kapolres OKU. Bukan lagi Rp 300 juta, tetapi meningkat seiring dengan kenaikan inflasi rupanya menjadi Rp 500 juta per bulan.

Kasus palak dan dipalak Dalizon ini seperti meneguhkan kisah-kisah palak-memalak atau setor-menyetor yang selama ini terjadi di seputaran aparat penegak hukum. Ibarat “kentut” baunya memang ada, tetapi siapa yang ngetut tidak ada yang mau mengakui.

Konon cerita, kapospol harus setor ke kepolsek, sedangkan kapolsek ke kapolres dan kapolres meningkat ke kapolda. Seperti sistem piramida yang akan berakhir di ujung. Sekali lagi, ini hanyalah isu dan kalau pun ada maka hanyalah oknum yang berbuat.

Berita Lanjutan : Menagih janji potong kepala ikan busuk, Ini Kata Gus Dur Soal Polisi Jujur Cuma ada Tiga… Apa ayau Siapa..??

Penulis artikel : Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi, Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Viral, Istri Grebek Suami di Rumah Pelakor di Mojokerto, Ini Link Videonya

Baca juga :