Saran Konsumen Solar-Pertalite di Mojokerto Sebelum Penerapan MyPertamina

Rencana pembelian BBM bersubsidi menggunakan aplikasi MyPertamina di Mojokerto saat ini pada tahap sosialisasi kepada warga. Konsumen bio solar dan Pertalite di Mojokerto pun mempunyai beberapa saran sebelum sistem baru itu diterapkan. Terlebih lagi untuk mencegah penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Seperti yang dikatakan Prayogi Waluyo, pengguna Pertalite asal Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Sehari-hari, untuk bekerja, wiraswasta ini mengendarai mobil Suzuki Baleno tahun 2001 dengan kapasitas tangki BBM sekitar 47 liter. Pengeluarannya untuk membeli Pertalite rata-rata Rp 1,3 juta per bulan.

Ongkos BBM Rp 1,3 juta bagi Prayogi tentu saja bukan menjadi soal. Sebab penghasilannya rata-rata Rp 20 juta per bulan. Ia juga merasa mampu jika harus beralih ke Pertamax yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan Pertalite. Saat ini Pertalite dibanderol Rp 7.650 sedangkan Pertamax Rp 12.500 per liter di wilayah Jatim.

“Kalau saya menyesuaikan kebutuhan dan kondisi mesin mobil saya. Pernah saya isi Pertamax dengan tujuan lebih hemat karena oktannya tinggi. Namun, tidak nyaman bagi kendaraan saya, tarikannya tidak enteng. Sehingga saya kembali lagi ke Pertalite, ternyata lebih nyaman, stabil sesuai yang saya rasakan,” kata Prayogi , Rabu (20/7/2022).

Prayogi mendukung niat pemerintah memastikan subsidi BBM tepat sasaran dengan menerapkan sistem pembelian menggunakan aplikasi MyPertamina. Namun, sebelum sistem itu diterapkan, sebaiknya juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.

Karena tidak selalu orang kaya membutuhkan BBM dengan nilai oktan tinggi untuk mobil mereka, seperti Pertamax atau Pertamax Turbo. Tidak jarang mobil milik orang tergolong ekonomi mampu justru cukup menggunakan premium atau Pertalite.

“Menurut saya aplikasi MyPertamina tidak akurat. Misalnya ada bos, mobilnya biasa saja, tapi saat mengisi BBM pakai akun sopirnya. Sistem itu masih bisa diakali sehingga belum bisa menjamin subsidi BBM tepat sasaran. Belum lagi ada banyak mobil yang masih menggunakan premium. Contohnya para kolektor mobil klasik yang pemiliknya orang kaya. Pemiliknya sangat mampu membeli Pertamax. Namun, mau tidak mau harus membeli premium menyesuaikan oktan BBM dengan kebutuhan dan kondisi mesin mobilnya. Sehingga ngapain beli BBM dengan oktan tinggi. Ini yang perlu dipikirkan pemerintah,” jelasnya.

Selain itu, kata Prayogi, sistem pembelian menggunakan aplikasi MyPertamina juga harus bisa mencegah penyalahgunaan BBM bersubsidi. Khususnya jenis bio solar yang rawan dijual kembali untuk kebutuhan industri dengan harga lebih mahal. Menurutnya, pembatasan pembelian per konsumen di tingkat SPBU saja tidak cukup.

“SPBU sebagai pedagang, tujuannya dagangannya laku. Sehingga tidak cukup sekadar membatasi pembelian maksimal sesuai kapasitas tangki kendaraan. Harus ada yang mengontrol transaksi di setiap SPBU,” cetusnya.

Pemilik bus pariwisata di Mojokerto Lukman (33) juga menyambut baik rencana PT Pertamina Patra Niaga menerapkan sistem pembelian BBM bersubsidi dengan aplikasi MyPertamina. Hanya saja ia berharap registrasi mendapat hak membeli bio solar tidak dipersulit. Terlebih ia tergolong pebisnis kecil lantaran hanya mempunyai 1 bus medium.

“Saya belum mengerti bagaimana mekanisme untuk mendaftar khusus pelaku usaha. Kalau untuk pelaku usaha seperti saya syaratnya tidak rumit, menurut saya menguntungkan. Karena penerapan sistem ini tentunya lebih menjamin tidak akan terjadi kelangkaan solar. Selama ini kan solar subsidi dipakai semua orang, termasuk orang-orang kaya,” terangnya.

Jika pengusaha seperti dirinya dilarang membeli bio solar, maka penghasilan sopir bus pariwisata bakal kian menipis. Karena pengeluaran sopir untuk membeli solar nonsubsidi otomatis naik tiga kali lipat. Seperti diketahui, saat ini harga bio solar di wilayah Jatim Rp 5.150 per liter. Sedangkan harga Dexlite Rp 15.000 dan Pertamina Dex Rp 16.500 per liter.

“Misalnya ke objek wisata di Malang selatan, tarif sewa bus kami biasanya 2,4 juta. Kalau harus pakai solar nonsubsidi, biaya BBM saja naik dari Rp 400 ribu menjadi Rp 1,1 juta. Belum untuk biaya jalan tol, parkir bus, gaji kernet. Sopir bisa tidak dapat upah sama sekali,” ungkapnya.

Senada dengan Prayogi, Lukman juga berharap sistem baru pembelian BBM bersubsidi ini bisa mencegah penyalahgunaan bio solar.

“Harus ada pembatasan pembelian sesuai kapasitas maksimal tangki kendaraan untuk mencegah dijual kembali ke industri dengan harga lebih mahal. Karena rawan ada pembeli yang memodifikasi tangki kendaraannya. Juga bisa saja menimba solar di beberapa SPBU berbeda, ini juga harus dicegah,” tandasnya.

Pejabat Sementara (Pjs) Sales Branch Manager Rayon II Surabaya PT Pertamina Patra Niaga Ardha Agnisatria menuturkan, terdapat 5 SPBU di Kota Mojokerto yang menggelar uji coba aplikasi MyPertamina.

Namun, layanan helpdesk untuk membantu masyarakat melakukan registrasi ke MyPertamina hanya dibuka di 4 SPBU. Yakni SPBU 5461301 Bypass Mojokerto, SPBU 5461328 Jalan Gajah Mada, SPBU 5461332 Jalan Empunala, serta SPBU 5461338 Surodinawan.

“Saat ini, konsumen kami minta registrasi ke aplikasi MyPertamina. Helpdesk kami buka untuk membantu konsumen yang kesulitan mendaftar,” jelasnya.

Menurut Ardha, registrasi bisa melalui aplikasi MyPertamina atau situs https://subsiditepat.mypertamina.id. Selanjutnya, setiap konsumen akan diverifikasi oleh Pertamina pusat bersama instansi terkait.

Konsumen yang dinilai layak membeli Pertalite dan solar bersubsidi akan mendapatkan kode QR. Demi keamanan saat transaksi di SPBU, konsumen bisa mencetak QR code pada kertas.

“Estimasi mendapatkan QR Code dalam 7 hari setelah registrasi. QR Code Itu yang ditunjukkan konsumen saat pembelian. Itu masih nanti, QR disimpan dulu. Saat ini, Konsumen masih boleh membeli Pertalite dan solar seperti biasa,” tandasnya.(tim/Sam)

Viral, Istri Grebek Suami di Rumah Pelakor di Mojokerto, Ini Link Videonya

Baca juga :