Utomo menduga, ledakan kasus Covid-19 yang terjadi belakangan akibat dari penularan orang yang bepergian. “(GeNoSe) harus dihentikan. Kita harus mencari masalah ledakan kasus, semua potensi masalah harus dicari. Apalagi tes kita masih lemah, tracing lemah, apalagi orang bisa ke mana-mana hanya berdasarkan GeNoSe,” jelas dia.
Sebagai gantinya, Utomo menyebut screening perjalanan bisa menggunakan alat baku yang telah disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tes PCR dan antigen.
Ia menegaskan, rekomendasi penghentian GeNoSe itu didasarkan atas hasil validasi eksternal yang belum keluar, bukan karena akurasi. “Karena harus diakui, apa pun tesnya, bahkan PCR pun bisa meleset, karena banyak faktor juga,” ujar Ahmad Utomo.
“GeNoSe boleh dipakai, Indonesia boleh berbeda dari negara lain, tapi tunjukkan dong hasil validasi ekstenal. Kalau memang kampus kita dipercaya dan benar-benar merdeka dan hasilnya bagus, ya pakai,” lanjut dia.
Berbeda dengan alat deteksi Covid-19 lainnya, GeNose menggunakan embusan napas untuk penentuan infeksi Covid-19 atau tidak.
Hasil pemeriksaan alat yang menggunakan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence) itu diklaim bisa selesai dalam waktu sekitar 80 detik.
GeNose bekerja dengan mendeteksi pola senyawa VoC atau Volatile Organic Compound dalam embusan napas manusia.
Pola VoC orang sakit dan orang sehat akan berbeda.
Alat yang dilengkapi dengan 10 sensor utama ini, mampu mengukur perbedaan kadar VoC itu secara lebih sensitif.
Untuk menggunakan GeNose, seseorang akan diminta untuk mengembuskan napas ke tabung khusus. Sensor-sensor dalam tabung kemudian mendeteksi VoC. Data yang diperoleh dari embusan napas, diolah dengan bantuan kecerdasan buatan hingga memunculkan hasil.
(tim/say)
Sumber : Kompas.com (Naskah Berita Asli)