Kebijakan Pemerintah terkait RUU revisi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tuai polemik, banyak pihak yang tak sepakat dengan wacana ini karena mengganggap pemungutan pajak sembako hingga sekolah tak elok.
Informasi yang dihimpun oleh suaramerahputih.com, Pengamat Kebijakan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Gitadi Tegas mengaku tak setuju dengan kebijakan ini. Dia heran bagaimana pemerintah bisa terpikir akan kebijakan ini.
“Secara umum saya sudah mengikuti berita seputar itu. Pada prinsipnya menurut cara pandang saya baik sebagai pengamat kebijakan maupun sebagai warga negara yang care kepada masyarakat luas, PPN yang pembebanannya pada end user atau konsumen terakhir yaitu rakyat jelata, jelas punya pemikiran semacam itu saja menurut saya sudah salah,” kata Gitadi, Sabtu (12/6).
Gitadi mengatakan ide meminta pajak sembako hingga sekolah sudah salah besar. Harusnya, kebijakan publik bisa menguntungkan masyarakat, bukan sebaliknya.
“Ide semacam itu sudah salah. Memang, saya ikuti keterangan Bu menteri jika ini masih gagasan awal untuk dilempar ke dewan, tapi bahwa para staf khusus atau staf ahli memiliki pemikiran seperti itu, menurut saya sudah salah kaprah. Dalam artian kebijakan publik didesain based on analisis yang kuat, data yang kuat, dan publik yang harus diuntungkan dalam sebuah kebijakan,” tegasnya.
Selain itu, Gitadi bahkan menyebut kebijakan ini tidak bijak. Apa lagi, kebijakan ini tercetus saat masyarakat tengah susah payah bangkit dari keterpurukan ekonomi saat dilanda pandemi COVID-19.
“Kalau dengan pembebanan itu, jatuhnya kepada konsumen terakhir yaitu rakyat atau siswa, orang tua murid, menurut saya itu kebijakan yang tidak patut. Atau bahasanya kebijakan yang tidak bijak, policy not wise,” kata Gitadi.
“Itu menurut saya, ada ide seperti itu saja sudah tidak pas.. Kita tarik dulu filosofinya. Pembacaan publik ini pasti untuk menambah income negara karena pandemi butuh duit banyak. Yang agak aneh penjelasan staf khusus yang menjelaskan PPN untuk sekolah, asumsinya untuk pemerataan. Nah pemerataan yang bagaimana? Masyarakat awam hanya melihat itu orang beli mobil ratusan juta, pajaknya dikecilin. Tapi justru orang yang mau makan, mau sekolah dipajakin. Orang awam akan membaca seperti itu. Nggak tahu kok aneh tindakan semacam itu,” paparnya.
Selain itu, Gitadi menilai jika pemerintah nekat memberlakukan kebijakan ini, pasti akan menimbulkan gejolak yang besar. Saat ini saja, sudah tercetus penolakan dari sejumlah pihak.
“Tapi tetap saja kalau ujung-ujungnya konsumen terakhir yang terbebani, artinya berasnya naik, sekolah naik, jelas pasti akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Apa lagi dalam situasi pandemi COVID-19 di mana masyarakat itu mengalami problem pendapatan yang signifikan,” pungkas Gitadi.(tim/Sam)
Redaksi : Suara Merah Putih
Sumber : Detik.com (Naskah Berita Asli)