Wacana reshuffle atau perombakan menteri dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju viral usai Presiden Joko Widodo mengusulkan penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Informasi yang dihimpun oleh suaramerahputih.com, Selain Kemendikbud-Ristek, Jokowi juga mengusulkan pembentukan Kementerian Investasi.
Ketentuan itu termuat dalam Surat Presiden (Surpres) Nomor R-14/Pres/03/2021 yang sudah disetujui oleh DPR RI melalui pembahasan dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Kamis (8/4), yang dihadiri oleh pimpinan DPR RI dan pimpinan sembilan fraksi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, menyebut bahwa Jokowi akan melantik menteri baru di posisi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek).
Ia juga menyampaikan akan ada menteri baru untuk jabatan Menteri Investasi. Menurutnya, menteri itu akan merangkap jabatan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengatakan masih ada beberapa menteri yang memiliki kinerja timpang dengan visi-misi presiden, selain melantik dua menteri baru pada reshuffle kabinet kali ini.
“Reshuffle memungkinkan menyasar kementerian lain, tidak saja Kemenristek atau Kemendikbud. Terutama menteri yang bidangnya terdampak pandemi,” kata Dedi, Rabu (14/4).
Ia pun menyinggung Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Menurutnya, Ida tidak mampu berbuat banyak mengatasi situasi sulit para pekerja yang kehilangan pekerjaannya karena pandemi Covid-19. Sementara Nadiem dinilai tak menawarkan kebijakan optimal terkait pembelajaran di masa pandemi.
Hanya saja, Dedi berpendapat perombakan menteri dalam praktiknya bukan menjadi hak presiden sepenuhnya.
“Ada andil pengaruh mitra koalisi yang juga menjadi pertimbangan. Kondisi itu memungkinkan reshuffle menyasar kelompok non-parpol,” tandasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, berpendapat seharusnya pembentukan dan penggabungan kementerian dapat menjadi momentum koreksi bagi menteri yang lain. Namun, ia memprediksi Jokowi tidak akan melakukan reshuffle besar-besaran.
“Secara politik pak Jokowi masih menjaga kestabilan politik,” ujarnya.
Sependapat dengan Dedi, Ujang menilai perombakan menteri juga dilakukan dengan mempertimbangkan situasi politik secara matang. Tidak mutlak jadi hak presiden sepenuhnya.
“Sebenarnya kan, nama Nadiem sudah cukup dari dulu untuk di-reshuffle, tapi faktanya enggak. Lalu kebijakan Ida Fauziah Menaker, banyak PHK di sana-sini, banyak persoalan, ternyata kan enggak di-reshuffle juga,” tutur Ujang.
Misal pak Pratikno, Jokowi Mania menjadikannya salah satu menteri yang harus di-reshuffle, enggak mungkin juga. Karena pak Pratikno salah satu tangan kanan Jokowi,” sambungnya.
Berdasarkan survei IPO terkait kinerja kementerian/lembaga, peluang reshuffle kabinet dan potensi capres 2024, Nadiem (dengan persentase 40 persen) termasuk lima besar menteri yang diinginkan publik untuk diganti. Nama lainnya ialah Menkominfo Johnny G. Plate (55 persen), Menkumham Yasonna H. Laoly (47 persen), hingga Mentan Syahrul Yasin Limpo (44 persen).
Survei itu dilakukan pada 12-23 Oktober 2020. Metode purposive sampling dilakukan terhadap 170 orang pemuka pendapat yang berasal dari peneliti universitas, lembaga penelitian mandiri, dan asosiasi ilmuwan sosial/perguruan tinggi.
Sementara survei terhadap massa pemilih nasional dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia dengan margin of error dalam rentang 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.,(Mya/tim)
Redaksi : Suara Merah Putih
Sumber : CNN Indonesia (naskah berita asli)
https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20210415074320-32-630170/sasaran-reshuffle-kabinet-jokowi-menteri-terdampak-pandemi/amp?espv=1