Perajin tempe di Kabupaten Mojokerto juga terkena dampak melonjaknya harga kedelai impor. Untuk menghindari masalah ini, perajin harus menaikkan harga tempe menjadi Rp 5.000 per bak.
Muhammad Toha (37), seorang pengrajin tempe yang tinggal di Dusun Sroyo, Desa/Kecamatan Dlanggu, Mojokerto, memilih untuk menggunakan strategi ini. Karena kenaikan harga kedelai impor dari Amerika Serikat selama 1,5 bulan terakhir, bisnis keluarga yang berusia 17 tahun ini sedikit goyah.
Harga kedelai Paman Sam melonjak drastis dari Rp 10.000/kg menjadi Rp 13.500/kg. Produsen Tempe Dziffa ini hanya memiliki satu pilihan. karena Toha sangat bergantung pada kedelai impor yang, ketika direbus, karakternya mekar. Tidak sama dengan kedelai lokal.
“Karena kedelai impor lebih mekar sehingga jadinya tempe lebih bagus. Rasanya juga enak kedelai impor. Kalau lokal rasanya belum masak bener,” terangnya kepada detikJatim di tempat usahanya, Rabu (22/11/2023).
Untuk menghindari masalah ini, Toha harus menaikkan harga tempe buatannya hingga 5.000 rupiah per bak. Tempe berukuran 50 x 150 cm naik dari 125.000 menjadi 130.000, tempe berukuran 20 x 150 cm naik dari 50.000 menjadi 55.000, dan tempe berukuran 10 x 150 cm naik dari 60.000 menjadi 65.000.
Karena proses pencetakan yang lebih kompleks, harga tempe dengan lebar 10 cm lebih mahal daripada yang 20 cm. Harga tempe plastik 250 gram juga. Toha menaikkan harganya dari 10 ribu rupiah untuk mendapatkan 7 bungkus menjadi 5 bungkus.
“Siasat sama cuma menaikkan harga. Cetakan sama, kalau dikurangi, harga tetap, pelanggan lari semua,” jelasnya.
Selama ini, tempe buatan Toha dijual ke tiga pasar tradisional di Mojokerto: Dlanggu, Pandanarum, dan Tangunan. Bapak dua anak ini juga bekerja untuk beberapa pedagang eceran yang sering mengunjungi kampung-kampung.
“Para pedagang biasa atur sendiri irisan ketika jual ke konsumen,” ujarnya.
Dibantu 3 karyawannya, Toha mengolah 350 Kg kedelai menjadi tempe setiap harinya. Produksi pagi sampai siang, ia menghabiskan 300 Kg kedelai, sedangkan produksi malam hanya 50 Kg kedelai. Kedelai yang dimasak pagi hingga siang baru 48 jam menjadi tempe. Karena menggunakan lebih sedikit ragi.
“Tapi yang dimasak pagi lebih tahan lama, 24 jam. Yang masak malam pakai ragi lebih banyak, menjadi tempe dalam 24 jam, daya tahan hanya 12 jam,” ungkapnya.
Pada tahap awal, kedelai lebih dulu direndam air selama 1 jam agar lebih merekah. Kemudian kedelai direbus dengan uap panas sekitar 1,5 jam. Uap panas berasal dari ketel berbahan bakar kayu. Setelah matang, kedelai ditiriskan selama 1 malam.
Keesokan harinya, kedelai dimasukkan ke mesin giling agar setiap bijinya pecah menjadi 2. Tujuannya agar ragi bisa tercampur merata. Selanjutnya, kedelai dicuci dengan air sampai bersih, lalu ditaburi ragi. Barulah kedelai ditiriskan untuk mengurangi kadar airnya.
Pada tahap akhir, kedelai dicetak dengan bak kayu sesuai ukuran yang diminati para konsumen. Kemudian setiap cetakan kedelai dibungkus plastik agar fermentasi lebih cepat menjadi tempe. Setiap cetakan kedelai lantas ditata di rak-rak sembari menunggu matang.
“Kami menggunakan bahan murni kedelai. Kan ada tempe yang dicampur karak (nasi sisa yang dikeringkan) dan jagung,” pungkas Toha. (dtj/ram)