Dengan melarang e-commerce, salah satu contohnya adalah toko TikTok, keberanian pemerintah saat ini dipertaruhkan.
Pemerintah Indonesia telah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Banyak hal yang harus dipahami sebelum pemerintah menutup toko TikTok. Sosial commerce dan e-commerce jelas berbeda.
Social commerce adalah menggabungkan jejaring sosial dan e-commerce dengan iklan tertarget dan personal.
Sedangkan e-commerce adalah transaksi yang diselesaikan lewat e-commerce terjadi melalui platform penjualan online situs web e-niaga dan pasar digital.
Ada perbedaan, jadi sewajarnya keduanya menjadi satu, karena kedua platform dapat mengumpulkan data besar dengan menggunakan algoritma untuk mengontrol sponsor dan penjualan. Selain itu, produk UMKM yang populer di toko TikTok diproduksi ulang dengan harga murah di Cina.
Saat ini pemerintah berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan UMKM di Indonesia dengan merevisi pemendag Nomor 5o tahun 2020.
Pemerintah harus bertindak cepat dalam hal ini karena jika tidak, perekonomian akan bermasalah dan UMKM, yang setiap tahun berfungsi sebagai penyelamat ekonomi Indonesia, akan menjadi tidak berdaya karena perubahan digitalisasi yang terus berkembang.
Permasalahan platform penjualan online tidak hanya terjadi pada TikTok shop tetapi pada platform yang menerapkan Social commerce dan e-commerce menurut Survei Populix mengungkap bahwa 86 persen responden pernah berbelanja social commerce.
Platform paling banyak digunakan adalah TikTok Shop (45 persen), diikuti WhatsApp (21 persen), Facebook Shop (10 persen), dan Instagram Shop (10 persen) yang di dominasi oleh kaum perempuan.
Jika pengguna TikTok shop di hentikan maka tidak menuntup kemungkinan konsumen akan berubah ke platform yang lain karena loyalitas konsumen di Indonesia masih sanggat rendah. Konsumen akan terus mencari produk lebih murah meskipun produk tersebut di produksi dari luar negeri.
Karena tuntutan harga kompetitif dan penggunaan digitalisasi yang cepat, pemerintah harus memperbarui dan mendukung UMKM di Indonesia agar dapat bersaing di pasar global.
Karena produsen UMKM masih menggunakan platform penjualan online dari pihak luar negeri, pemilik aplikasi masih dapat melakukan monopoli, pengendalian harga, promosi, dan algoritma untuk mendapatkan big data, tantangan peluang saat ini akan menjadi momok tersendiri bagi pemerintah dan UMKM di masa mendatang.
Pemerintah harus menyelamatkan UMKM di Indonesia karena awal mula penyelamat krisis ekonomi 1998 sampai beberapa tahu sebelumnya. UMKM bukan hanya nyawa bangsa kita tetapi juga menyerap tenaga kerja kedua setelah sector pertanian. (bjt/ram)